Senin, 28 April 2008

Memilih Sekolah: Nasional atau Nasional Plus?

Fasilitas dan sistem pembelajaran di sekolah nasional plus seharusnya lebih baik dari sekolah nasional. Dengan keberagaman latar belakang sosial, kepekaan dan pemahaman akan keberbedaan anak pun akan lebih terasah.

Seiring perjalanan waktu, perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan di dunia pendidikan dan sekolah pun turut berkembang. Lembaga pendidikan di Indonesia kini tak lagi hanya didominasi oleh sekolah-sekolah nasional, yang notabene mengusung kurikulum nasional. Ada juga sekolah-sekolah yang menyebut dirinya sebagai sekolah nasional plus, dengan sistem belajar yang tak hanya beriorientasi nasional, bahkan internasional.

Banyak orang berpendapat sekolah dengan fasilitas dan sistem belajar yang lengkap dan baik, tentu akan menghasilkan lulusan yang baik pula. Bisa jadi pendapat ini benar. Tapi bila berpendapat bahwa sekolah mahal adalah sekolah yang baik, pendapat ini mungkin perlu dipikir ulang. Anggapan bahwa sekolah nasional plus adalah sekolah mahal dengan kualitas yang lebih baik dibanding sekolah nasional, barangkali juga belum tentu benar.

Sekolah Nasional

Sekolah nasional mengacu dan mengikuti aturan dan sistem pendidikan nasional yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Untuk menjaga mutu pendidikan nasional, pemerintah membuat Standar Nasional Pendidikan yang berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pendidikan. Dengan adanya standar tersebut, tak hanya bahan ajar yang diatur, tetapi juga aspek-aspek penting lainnya dalam bidang pendidikan. Diantaranya, standar kompetensi kelulusan, standar isi, standar proses, standar guru, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar penilaian hingga standar biaya pendidikan.

”Sekarang tidak ada lagi kurikulum standar nasional, yang ada standar isi,” kata Prof.DR. Fawzia Aswin Hadis, Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Dalam standar isi, tercantum kompetensi-kompetensi dasar yang harus dicapai oleh anak sesuai tingkat satuan pendidikan tertentu(SD, SMP, SMU), yang disebut standar kompetensi. ”Kompetensi dasar ini adalah kompetensi minimal yang harus dicapai untuk memenuhi Standar Kompetensi Kelulusan (SKL),” kata Fawzia menerangkan.

Berdasarkan standar kompetensi itulah, guru menyusun kurikulum pembelajaran. ”Jadi guru yang harus menyusun silabus dan rancangan pembelajarannya,” terang Fawzia. Pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan ini menurut Fawzia merupakan bagian dari upaya menghargai hak-hak otonomi guru untuk mengkreasikan proses pembelajaran pada masing-masing satuan pendidikan. Kurikulum tersebut dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), KTSP memiliki banyak kesamaan. Seperti KTSP, KBK juga memakai sistem kompetensi. ”KBK ditentukan oleh pusat. Jadi semua standarnya harus seperti itu. Sementara KTSP, hanya menetapkan standar minimal,” kata Fawzia lagi. Standar minimal itu adalah tolok ukur yang paling dasar, sehingga tidak boleh kurang dari itu. Sebaliknya, sekolah boleh menerapkan standar pendidikan yang lebih baik, plus berbagai modifikasinya. ”Plusnya nanti, ditambahkan sendiri supaya sesuai dengan kebutuhan anak. Jadi gurunya mesti pintar,” sambungnya. Orientasi dari pendidikan sekarang menurut Fawzia adalah child center. ” Apa yang dibutuhkan oleh anak, itu yang dibuat oleh guru. Guru harus mengerti tingkat kemampuan apa yang ada pada anak dan bagaimana nanti mengembangkannya,” urai Fawzia lagi.

Dengan adanya standarisasi pendidikan, siswa dalam kelas sudah tidak boleh lagi melebihi 42 anak, dan harus dikurangi menjadi 28 anak. BSNP juga merekomendasikan pengurangan beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan, karena jam-jam pelajaran di sekolah selama ini terlalu banyak. Jika biasanya satu jam pelajaran untuk siswa SD adalah 45 menit, maka rekomendasi BSNP ini mengusulkan pengurangan untuk SD menjadi 35 menit setiap jam pelajaran. Di samping itu, bahan ajar yang dianggap memberatkan siswa pun akan dikurangi.

Meski demikian, KTSP tetap memberikan tekanan pada pengembangan kompetensi siswa. Buku-buku yang digunakan pun dievaluasi dan distandarisasi oleh BSNP. “Buku yang telah dinilai oleh BSNP, baru boleh masuk kelas,” kata Fawzia. Dengan adanya standarisasi tersebut, kata Fawzia, diharapkan siswa tak hanya dapat bersaing secara nasional tetapi juga dengan dunia.

Sekolah Nasional Plus

Menurut Daryl Forde, Ketua Asosiasi Sekolah Nasional Plus, masing-masing sekolah – terutama sekolah nasional plus – menampilkan sentuhan yang berbeda. Perbedaan tersebut menunjukkan kepercayaan, nilai dan juga sikap mereka. ”Sentuhan tersebut juga sering menyatakan visi dan misi mereka dan mempengaruhi perekrutan staf dan orang-orang kunci,” urainya. Daryl mengemukakan, struktur organisasi dari setiap sekolah juga berbeda, karena setiap sekolah diatur oleh sebuah yayasan yang menerapkan visi dan misi yang khusus bagi sekolahnya. Pada umumnya sekolah-sekolah nasional plus juga menghindari model birokrasi kepemimpinan dari atas ke bawah.

Daryl menambahkan, sekolah nasional plus mengenali pembelajaran sebagai proses seumur hidup dan itulah pusat dari tujuan sekolah itu. ”Hasilnya adalah bahwa para murid harus mengembangkan sikap-sikap positif dan kreatif untuk pembelajaran sehingga bisa menjadi pelajar yang mumpuni,” katanya lagi. Mumpuni dalam arti pelajar menjadi gemar belajar dan antusias, serta menyadari bahwa pembelajaran adalah mengasyikkan. Sehingga mereka akan mampu mendorong batasan dan meluaskan kreatifitasnya. Sedangkan keterlibatan orang tua dapat terwujud dalam sejumlah hal, antara lain dalam pengumpulan relasi dan dana, dua hal yang menurutnya penting bagi sekolah. ”Hubungan dengan orang tua haruslah otentik, kontinyu dan realistik, dan ini akan sangat beragam antara sekolah satu dengan sekolah lain. Yang jelas, adalah, bahwa suara para orang tua didengar dan perhatian yang tulus selalu diberikan secepatnya,” urainya lagi

Dalam Seminar dan Lokakarya Pendidikan tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Asosiasi Yayasan Untuk Bangsa di Yogyakarta, Dwi Sunu Pebruanto menjabarkan sekolah nasional plus dalam tujuh karakteristik. Pertama, pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa harus terlibat dalam menentukan target, cara belajar, proses penilaian, dan penentuan sumber belajar. Kedua, penilaian bukan sebagai cara atau alat untuk membuat keputusan tingkat kepandaian siswa. Penilaian adalah proses mengumpulkan data secara berkesinambungan dan bervariasi yang dapat dianalisa untuk mencari kekuatan siswa dan hal yang masih perlu dibantu.

Selanjutnya, Dwi yang berprofesi sebagai guru Sekolah Ciputra, Surabaya, juga menyatakan bahwa sekolah nasional plus menggunakan sumber belajar yang mendukung, bervariasi dan fungsional. ”Guru dan siswa fleksibel dalam memilih dan menentukan sumber belajar,” ujarnya. Pada umumnya sekolah nasional plus, setidaknya menggunakan dua bahasa (bilingual) sebagai sarana komunikasi dalam proses pembelajaran. Bahasa asing bukan hanya sebagai mata pelajaran, namun digunakan sebagai media belajar dan komunikasi.

Sekolah nasional plus seharusnya juga mempunyai komitmen untuk memfasilitasi program-program pelatihan bagi staff pengajar, agar mampu mengelola kurikulum dan program pembelajaran secara profesional. Sekolah juga harus tetap mengakomodasikan konteks nasional dengan memunculkan konteks-konteks lokal untuk menjadi media belajar siswa. Pengakuan nasional yang diatur oleh sistem akreditasi sekolah dirasakan tidak cukup, dan membutuhkan pengakuan dari dunia internasional melalui badan dunia yang bergerak pada pendidikan. ”Sekarang beberapa sekolah memilih IBO (International Baccalaruate Organisation) yang berpusat di Swiss untuk menjadi badan "akreditasi" sekolah,” ujar Dwi.

Plus Minus

Dra, Evita Adnan M.Psi, pakar pendidikan dari Asosiasi Psikologi Pendidikan mengatakan, ”Kalau kita bicara sekolah nasional, kita bicara mengenai sekolah umum, yang memakai kurikulum standar nasional. Kalau kita bicara nasional plus, tentunya harus ada kriteria yang lebih dari sekolah nasional.” Dengan kondisi tersebut, pengajar Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta ini menambahkan, mestinya kualitas sekolah nasional plus lebih baik.

Hal-hal yang sangat khas intelektual menurut Evita, biasanya dikembangkan di sekolah-sekolah nasional plus. ”Ada desain instruksional yang betul-betul dipersiapkan, ” ujarnya. Pada sebuah sekolah nasional plus yang diamatinya, Evita juga melihat bagaimana murid-muridnya benar-benar menikmati belajar. ”Jumlah muridnya tidak banyak, hubungan inter individual lebih tinggi, karena jumlah murid yang lebih sedikit,” katanya. Manajemen kelasnya juga mungkin berbeda dengan yang standar, tetapi diatur sedemikian rupa oleh gurunya. ”Tentu gurunya pun sudah dipersiapkan yang dapat memberikan pembelajaran yang berbeda, menggunakan pendekatan-pendekatan yang memahami perkembangan anak,” urai Evita.

Sependapat dengan Evita, Lody Paat, Koordinator Koalisi Pendidikan juga melihat komposisi guru dan murid yang proporsional di nasional plus sebagai suatu hal yang positif. Lody juga mengakui bahwa sekolah-sekolah nasional plus memang unggul dalam hal fasilitas. Mulai dari ruang kelas yang memadai, komputer, laboratorium, ruang musik, sarana olahraga yang lengkap dari kolam renang, fasilitas berkuda, tennis dan lain sebagainya, perpustakaan dengan koleksi beragam, ekstra kurikuler yang variatif, sampai ke kantin dan WC yang bersih. Gurunya pun bisa berbahasa Inggris. ”Tapi itu bukan segalanya,” ujar Lody.

Menurut Lody, yang juga staf pengajar Universitas Negeri Jakarta, berbagai fasilitas itu wajar karena orangtua murid pun harus membayar mahal untuk menyekolahkan anaknya di situ. Dengan segala ke-plus-an itu, maka citra dari sekolah nasional plus ini menurut Lody adalah, ”Sekolah anak-anak orang yang punya uang saja. Sekolah plus, hanya untuk orang kaya,” katanya. Dengan kondisi seperti itu, Lody meragukan kepekaan sosial anak-anak yang bersekolah di sekolah nasional plus.

Menurut Evita, murid yang terlalu homogen – setidaknya berdasarkan kemampuan ekonominya – membuat anak tidak bisa melihat bahwa dalam beberapa hal dia berbeda dengan kelompok lain di luar sekolah dan tempat tinggalnya. Lain halnya dengan sekolah nasional yang muridnya lebih heterogen. Dengan keberagaman latar belakang sosial , kepekaan dan pemahaman akan keberbedaan anak pun akan lebih terasah. ”Sekolah nasional plus yang menyadari hal ini, akan menyelipkan beberapa anak yang kurang mampu. Jadi orientasinya bukan melulu komersial, ” katanya. Dengan demikian, menurut Evita, sekolah tersebut akan dapat menumbuhkankembangkan anak manusia secara natural, dan tidak secara eksklusi.

Apakah berbagai nilai plus itu akan bernilai negatif atau positif, sangat tergantung pada sekolah, guru atau orangtua memaknainya. ”Tetapi kalau visi sekolah nadanya sudah over estimate, misalnya ”sekolah terbaik untuk murid terbaik”, mungkin akan mengarah pada hal negatif. Misalnya eksklusifitas,” kata Evita lagi. Pada sekolah-sekolah seperti itu, Evita kerap melihat keinginan orang-orang dewasa (orangtua dan pihak sekolah) yang sering tidak terkontrol. ”Ada tuntutan-tuntutan yang tidak pada tempatnya, yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak,” tambahnya. Menurutnya, sekolah dan orangtua perlu memikirkan batas-batas kemampuan anak untuk menyerap pelajaran. Faktor kelelahan juga perlu dipertimbangkan. ”Saya khawatir, saking plus-plusnya anak tidak sempat mengendapkan dan menerapkan itu dalam kesehariannya,” ungkapnya.

Sebaliknya, bila guru-gurunya cukup kreatif, memberi kesempatan, dan mengakomodir kebutuhan muridnya, Evita meyakini murid-murid sekolah nasional pun bisa berkembang baik dan menghasilkan lulusan yang baik pula. Baik Evita maupun Lody yakin, ada guru dari sekolah nasional yang bagus, kreatif, inovatif dan memberi kesempatan pada murid-muridnya berkembang dengan baik. Selain itu, banyak juga juara-juara sains nasional dan internasional yang dihasilkan dari sekolah-sekolah nasional. “Dengan adanya standarisasi pendidikan nasional, diharapkan siswa tak hanya dapat bersaing secara nasional tetapi juga dengan dunia,” ujar Evita.
(Meliana Simarmata)

Sumber:

Majalah Inspire Kids

http://cyberwoman.cbn.net.id/


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://pendidikan.infogue.com/memilih_sekolah_nasional_atau_nasional_plus_