Selasa, 18 September 2007

Menggali Hal Positif Dalam Perusahaan

"Orang kok selalu negative thinking [berpikir negatif]. Mbok kalau berpikir itu positif. Dasar katro," canda Tukul setiap kali menyindir penonton di acara Empat Mata yang ditayangkan oleh satu televisi swasta.

Candaan Tukul itu memang benar. Cara berpikir yang melihat dari sudut pandang negatif atau melihat sisi kelemahan seseorang, kini mulai ditinggalkan oleh para penyusun strategi perencanaan organisasi.

Penyusun strategi perencanaan organisasi modern, mulai menggunakan cara berpikir dengan melihat sisi positif dari seseorang sebagai kekuatan yang mendukung keberhasilan perusahaan. Sehingga, percakapannya pun berangkat dari pemikiran yang disebut appreciative inquiry.

Appreciative inquiry adalah seni dan praktik bertanya yang menggali kekuatan atau keberhasilan manusia dan sistem untuk menciptakan masa depan yang penuh harapan.

"Apa yang membuat kamu bangga dengan pekerjaan ini? Prestasi apa yang pernah kamu capai di pekerjaan ini? Contoh pertanyaan-pertanyaan seperti itu menggambarkan teknik bertanya cara berpikir positif dalam appreciative inquiry.

Metode ini dikembangkan pertama kali oleh David Cooperrider dan Suresh Srivastva di Case Western Reserve University di Cleveland, Ohio. Mereka berdua melakukan uji coba berbagai pendekatan riset aksi untuk mengembangkan Cleveland Clinic, sebuah fasilitas perawatan kesehatan bertaraf internasional.

Mereka berdua melakukan wawancara yang terfokus pada faktor-faktor yang memberikan kontribusi bagi efektivitas organisasi. Proses wawancara ini kemudian memancing seluruh anggota organisasi membicarakan kisah-kisah keberhasilan organisasi secara antusias.

Teknik percakapan yang dikembangkan oleh Cooperrider dan Srivastva ini mulai diterapkan dalam penyusunan strategi perencanaan organisasi yang menerapkan metode SOAR ((strenght, opportunity, aspiration, result).

SOAR merupakan metode perencanaan strategis yang berbasis appreciative inquiry.

Dasarnya adalah pemikiran yang berangkat dari penggalian hal-hal yang positif, sehingga outputnya pun akan positif.

Artinya, kalau kita berpikir hari ini akan sukses, maka kesuksesan pula yang bakal kita raih. Sebaliknya, kalau kita berpikir bakal gagal, maka kemungkinan kegagalan pula yang bakal kita dapat.

Menurut Ketua Divisi Riset dan Konsultasi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Budi Setiawan Muhammad, penerapan SOAR itu dimulai dari pemikiran yang apresiatif.

"Kalau percakapan masih berangkat dari hal-hal yang negatif itu menunjukkan cara berpikir yang masih defisit," katanya di sela-sela workshop SOAR, baru-baru ini.

Apresiatif

Pendekatan apresiatif dalam perencanaan strategis, dia menjelaskan melibatkan kita untuk mengidentifikasi dan membangun kekuatan yang kita miliki dan kesempatan yang menguntungkan dibandingkan memfokuskan pada masalah, defisiensi, kelemahan dan ancaman.

Appreciative inquiry berbeda dengan proses perencanaan strategis SWOT (strength, weakness, opportunity, treatment) yang lebih memfokuskan pada kelemahan dan ancaman.

Dalam cara berpikir yang berangkat dari hal apresiatif, kata Budi, kelemahan dan ancaman juga dilihat, tapi tidak menjadi fokus. Di SOAR yang menggunakan basis pemikiran apresiatif ini, imajinasi menjadi kekuatan penting.

Bagaimana karyawan mengkhayalkan masa depan perusahaan bakal menjadi kekuatan penentu keberhasilan perusahaan. Dalam studi psikologi pun, lanjutnya, imajinasi murid yang ada dibenak guru menjadi faktor penentu dari keberhasilan proses pembelajaran.

Sementara itu, Dewan Pakar Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi Ino Yuwono mengingatkan bahwa pemberian apresiasi kepada karyawan tidak harus selalu berupa hal yang sifatnya material, seperti gaji yang besar, fasilitas kendaraan dan bonus.

Apresiasi terhadap karyawan itu, ungkapnya, bisa juga diberikan dalam bentuk pujian dan perhatian lainnya yang sifatnya bisa merekatkan ikatan emosional yang lebih kuat antara karyawan dan perusahaan.

Perusahaan, kata Ino, sebenarnya mengetahui kalau gaji yang besar, tidak menjamin mampu mengikat loyalitas karyawan. Tapi yang mengherankan, ujar dia, perusahaan biasanya justru melupakan hal bersifat emosional yang bisa membuat karyawan loyal dengan perusahaan, seperti lingkungan kerja yang kondusif.

Seiring mulai maraknya penerapan SOAR di organisasi, tampaknya era melihat segala sesuatu dari kacamata positif telah tiba. Dari sekarang, mulailah meninggalkan cara berpikir negatif yang hanya akan menyakiti hati orang dan hasilnya kontraproduktif.

Sumber: Bisnis Indonesia